Pilih Halaman

Peran Orang Tua Sangat Dominan Cegah Anak Putus Sekolah

Peran Orang Tua Sangat Dominan Cegah Anak Putus Sekolah

BANJARNEGARA – Peran orang tua sangat penting dalam mendukung pendidikan anak-anak mereka. Dukungan finansial dan emosional sangat penting untuk memotivasi anak-anak untuk tetap di sekolah.
Hal tersebut disampaikan Konsultan Education dari United Nations International Children’s Emergency Fund (Unicef) Jawa-Bali Jasman Indradno usai melihat secara langsung kondisi anak-anak putus sekolah di Desa Pucung Bedug dan Desa Petir Kecamatan Purwanegara, Kamis (18/7/2024).
Tim dari Unicef didampingi Perwakilan dari Baperlitbang, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga serta Dinas Sosial. Mereka membawa misi untuk mengajak anak-anak kembali ke sekolah dengan tajuk “Mayo Sekolah Maning”.
Selain memberikan edukasi dan pengarahan kepada anak, tim juga memberikan edukasi kepada orang tua anak agar ikut mendorong anak untuk kembali bersekolah.
Jasman juga mengatakan, Kasus anak putus sekolah kerap terjadi terutama di desa. Biasanya karena dahulu orang tuanya tidak sekolah maka anaknya jadi ikut tidak bersekolah.
“Biasanya kalau orang desa, apalagi orang tuanya mampu maka akan menganggap remeh sekolah, bahkan menganggap sekolah tidak perlu, nah mata rantai ini yang harus kita putus, kasihan masa depan anaknya kalau sampai mereka tidak bersekolah, padahal menurut riset anak berpendidikan lebih punya besar meraih cita-citanya,“ kata Jasman
Jasman menambahkan, peran orang tua dalam memberikan motifasi sangat menentukan bagi anak-anak yang putus sekolah, karena dialah orang terdekat dengan anak.
“Jadi ini memang menjadi faktor budaya anak anak tidak mau sekolah, karena rata-rata Pendidikan orang tua disini rendah sehingga kurang memotifasi anak untuk sekolah,” lanjutnya
Orang tua juga mempunyai kewajiban yang utama dan pertama untuk anak, orang tua dalam kontek mendidikan anak itu tidak harus sains ,tidak harus membaca menulis dan berhitung, namun lebih kepada pendidikan karakter anak harus punya semangat,motivasi dan cita-cita sehingga anak menjadi senang bersekolah.
“Jadi kalau anak yang tidak seneng bersekolah, saya menjadi heran, ini pasti ada yang salah dalam pendidikan keluarga, karena seharusnya anak usia sekolah usia, 9, 12 dan 15 tahun bangga sekali bersekolah, tapi kalau anak tidak berminat ini yang menjadi persoalan, kemungkinan adanya kurang komunikasi dalam keluarga,” tambahnya
Lebih jauh Jasman juga berharap pemerintah desa agar selalu mendampingi dan memberikan motifasi anak-anak dan mencarikan jalan keluar.
Karena anak sudah tidak bersekolah di SD dan usianya sudah terlanjur sudah usia SMP namun belum lulus SD, maka jalan keluarnya adalah dia harus di kejar paket PKBM atau di SKB, solusi itu menjadi jalan terbaik, dalam hal ini peran pendamping dalam hal ini pemerintahan desa sangat diharapkan.
“Disini peran dari pemerintah desa sangat menentukan selain orang tua untuk memberikan pencerahan kepada anak, sedangkan pemerintah daerah berperan menfasilitasi,” imbuhnya.
Jasman memberikan contoh, di beberapa tempat untuk memberikan motifasi kepada anak putus sekolah maupun orang tua anak, bisa juga melalui peran seorang kyai atau tokoh agama yang dinilai berpengaruh.
Selain itu warga desa yang telah sukses dan menjadi ikon desa juga bisa menjadi inspirasi bagi mereka anak-anak yang putus sekolah agar terinspirasi untuk kebali bersekolah agar sukses di kemudian hari.
Jasman juga meminta kepada pihak sekolah atau madrasah agar tidak buru-buru mengeluarkan anak dari sekolah, karena anak itu berhak mendapatkan pendidikan.
“Jadi kalau seandainya ada anak nakal, itu menjadi tugas sekolah bagaimana caranya agar anak yang nakal menjadi tidak nakal, jadi bukan berarti guru itu tugasnya hanya mendidik anak yang mau belajar, namun juga mendidik adar anak yang berperilaku nakal,” lanjutnya.

Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Banjarnegara di Desa Pucung Bedug, terdapat 34 anak putus sekolah, semenara di Desa Petir terdapat 130 anak putus sekolah karena berbagai faktor, seperti faktor ekonomi, karena di bully, menikah atau karena memang sudah malas untuk bersekolah.
Kais Firmanulloh (16) salah satu anak yang terdaftar sebagai anak putus sekolah di desa Pucung bedug misalnya, Ia sudah putus sekolah sejak kelas I SMP dan mengaku sudah malas untuk bersekolah sekolah hingga akhirnya membantu orangtuanya bekerja serabutan.
Namun setelah mendapatkan nasehat dari Tim monitoring tentang sekolah dan masa depan , Kais mau kembali bersekolah melalui kejar pekat B.
Sementara Reza Septiadi memilih untuk membantu ayahnya menjadi sopir truck. Reza yang di kenal sebagai sosok pendiam namun suka berkelahi mengaku sering di bully disekolah, hingga akhirnya memilih untuk tidak bersekolah.
Sedangkan Wahyan Junaidi (15) tidak melanjutkan sekolah karena faktor ekonomi. Sehari-hari ia hanya dirumah dan membuat kerajinan mobil-mobilan.
Hal yang sama juga dialami Alfin Januar yang terpaksa putus sekolah karena faktor ekonomi dan memilih tinggal di rumah. Hanya saja Alfin sebenarnya memilki keinginan untuk menekuni dunia perbengkelan.
“Dari beberapa 7 anak yang kita kunjungi sebagai sempel, ada 6 anak yang bersedia untuk melanjutkan sekolah, namun ada 1 anak yang tidak mau bersekolah dan memilih untuk menekuni kerja,” kata Jasman.* (ahr/mjp).

Tentang Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *